OPINION-EDITORIAL | Indonesia needs a ‘healthy recovery’, green hospitals network in Indonesia tells G20 Member President Widodo (Bahasa translation available)

May 26, 2020

Opinion-editorial | Written by: dr. H. Suherman, MKM and Pats Oliva


As the world gradually resurfaces from the impact of the coronavirus, important decisions must be made to determine a just, humane and healthy future for the people.

Globally, the Covid-19 pandemic has not only presented to us the numerous vulnerabilities within our healthcare system, emergency response, governance, and communities. It has most especially reiterated that our health and safety (including the planet’s) must be at the front and center of both response and recovery.

This is more than true in marginalized regions in countries of Southeast Asia, where countries like Indonesia are already reeling from preexisting climate change-related problems like air pollution, food insecurity, sea level rise, and global warming.

A healthy recovery from the Covid-19 crisis, that directs any stimulus measures towards strengthening the health system and expanding clean, sustainable industries and jobs, will reduce these problems and make our economy more resilient to future shocks – be it a pandemic or a tropical storm.

Climate Crisis Aggravated by Coal Expansion

By now, it is known widely that coal-fired power plants produce not only carbon dioxide that contributes to global warming, but also release particulate matter, sulphur dioxide, nitrogen dioxide, and mercury that are harmful to human and planetary health.

Air pollution seeps into the lungs, hearts, brain and skin, stunts the development of babies and causes asthma, cancer and other diseases. This is taking months as years off our lives, according to the University of Chicago’s Air Quality Life Index. Air pollution across Indonesia cut the average life expectancy by 1.2 years as of 2016, compared to life expectancy if the air quality met the World Health Organization’s standards. In the city of Palembang, South Sumatra people lose 4.8 years on average; in Ogan Komering Ilir it’s 5.6 years. Research shows that the long-term health impacts of air pollution make people more vulnerable to the worst effects of respiratory viruses like Covid-19.

Despite the clear public health risks and costs of dirty air, and its known causes, as of January 2020, Indonesia has a total of 32,373 MW of operating coal plants and 11,840 MW-capacity in construction.

Based on the Indonesia G20 IFFS Self-review 2019 Report, the government of Indonesia committed to 29 percent of emission reduction target after 2020 based on the Nationally Determined Contribution (NDC) under the Paris Agreement within the framework of the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). They’ve also allocated a total of USD 55.01 billion for the 2015-19 period, including NDC programs in the energy sector, 1) renewable energy as power and fuel; 2) energy efficiency; 3) clean power; 4) fuel switching; and 5) post mining reclamation.

In addition, Indonesian energy watchdogs mention that existing government regulations require that the country should have reached 17.5 percent renewable power mix by 2019 but a Banten-based coal plant - Java 7 Unit 1 (with a capacity of 1,000 megawatts) was launched in December 2019; undermining the 376 megawatts of green energy inaugurated in the country on the same year.

Covid-19, climate change, and healthcare

In this period of a global pandemic converged with the preexisting climate crisis, this expansion of fossil fuel energy in Indonesia means that a larger chunk of society is now more vulnerable to the coronavirus and other respiratory illnesses, and will have a hard time adapting and coping to the challenges of one of the biggest health threat of the 21st century.

Disasters and disease outbreaks are known to harm people’s health and disrupt lives. This puts to challenge the healthcare system in Indonesia and the rest of Southeast Asia that is fundamentally unprepared for climate-induced pandemics.

Health Care Climate Action as part of the regional recovery plan

Global Green and Healthy Hospitals (GGHH) is an international network of hospitals, health care facilities, health systems, and health organizations dedicated to reducing their environmental footprint and promoting public and environmental health.

As a member of the GGHH Network, the Health Promoting Hospitals (HPH) in Indonesia joins the 350 organisations representing over 40 million health professionals and over 4,500 individual health professionals from 90 different countries, in writing to the G20 leaders calling for a #HealthyRecovery from both the Covid-19 and climate crisis.

The pandemic showed us that the normal we are used to was unsustainable and destructive, and if continued, alongside the lack of inclusive solutions for the climate crisis, will only mean permanent destruction of human lives and of our planet.

In this part of the world where environmental and health issues like climate change and air pollution mean health inequity, lack of resilient health infrastructures, insufficient government budget prioritization, deplorable working conditions, gender inequality, and even food insecurity, it is imperative for the healthcare sector, to lead the healthy recovery plan. Meaning, call for the protection of the people’s health through the transition to renewable energy, investing in climate-resilient health facilities, employing green healthcare procurement policies, strengthening of health information systems, and educating the public of the dangers of climate change inaction.

As a concluding realization, one of the messages that came out of the Covid-19 pandemic is the need to save our planet from man-made pollution like those that come from extractive, carbon-emitting industries especially coal-fired power plants and fossil fuel extraction. Let the skies remain blue, the air clean, and the people healthy. ###

---------------------

About the Authors:

dr. H. Suherman, MKM - dr. Suherman is the former National Coordinator of the Health Promoting Hospitals (HPH) Network of Indonesia.

Pats Oliva – She is the Communications Campaigner for Health Care Without Harm (HCWH) Southeast Asia.

 

Sources:

https://www.oecd.org/fossil-fuels/publication/Indonesia%20G20%20Self-Report%20IFFS.pdf

https://www.thejakartapost.com/news/2020/01/22/coal-plant-expansion-wipes-out-indonesias-green-energy-progress.html

https://endcoal.org/global-coal-plant-tracker/

https://aqli.epic.uchicago.edu/the-index/

https://healthyrecovery.net/

 


This opinion-editorial is also available in Bahasa

Green Hospitals Network di Indonesia mengatakan, “Penghapusan bertahap bahan bakar fosil, untuk melindungi kesehatan masyarakat dan membawa masa depan yang lebih hijau bagi kita semua”

Ketika dunia secara berangsur mulai bangkit kembali dari dampak virus corona, maka keputusan-keputusan yang penting harus dibuat demi menentukan masa depan yang adil, manusiawi dan sehat bagi masyarakat.

Secara global, pandemi Covid-19 ini tidak hanya menunjukkan kepada kita mengenai berbagai macam kerentanan yang ada dalam sistem layanan kesehatan, tanggap darurat, sistem pemerintahan, dan juga masyarakat kita. Secara khusus pandemi ini menegaskan kembali bahwa kesehatan dan keselamatan kita (termasuk planet bumi ini) harus berada dalam garis depan dan terpusat baik secara respon maupun pemulihan.

Hal yang sangat nyata seperti di daerah yang terpinggirkan di negara-negara Asia Tenggara, di mana negara-negara seperti Indonesia sudah diguncangkan dengan masalah terkait perubahan iklim yang sudah ada sebelumnya seperti polusi udara, kerawanan pangan, kenaikan permukaan laut, dan pemanasan global.

Pemulihan yang sehat dari krisis Covid-19, yang mengarahkan setiap langkah-langkah stimulus ke arah penguatan sistem kesehatan dan perluasan industri-industri dan pekerjaan yang bersih dan berkelanjutan, akan mengurangi masalah-masalah semacam ini dan membuat ekonomi kita lebih tahan terhadap guncangan-guncangan di masa depan - baik itu pandemi atau badai tropis.

Krisis Iklim diperburuk oleh Ekspansi Batubara

Pada saat ini, secara umum telah diketahui bahwa pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU Batu Bara) tidak hanya menghasilkan karbon dioksida yang berkontribusi terhadap pemanasan global, tetapi juga mengeluarkan partikel, sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dan merkuri yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan planet bumi.

Polusi udara menyusup ke dalam organ tubuh seperti paru-paru, jantung, otak dan kulit, menghambat perkembangan bayi dan menyebabkan asma, kanker, dan penyakit lainnya. Hal ini bisa mengurangi masa hidup kita beberapa bulan hingga beberapa tahun menurut riset dalam Air Quality Life Index yang dilakukan oleh Universitas Chicago. Polusi udara di Indonesia berpotensi kehilangan 1,2 tahun harapan hidup pada tahun 2016, dibandingkan dengan harapan hidup apabila kualitas udara memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Di Kota Palembang, Sumatra Selatan,usia berkurang rata-rata hingga 4,8 tahun; bahkan di Ogan Komering Ilir bisa berkurang hingga 5,6 tahun. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa efek jangka panjang dari paparan polusi udara terhadap kesehatan membuat masyarakat lebih rentan terhadap dampak terburuk dari virus-virus yang menyerang sistem pernapasan seperti Covid-19.

Meskipun risiko dan biaya kesehatan masyarakat akan polusi udara sudah jelas saat ini, dan sudah diketahui penyebabnya, dimana pada bulan Januari 2020, Indonesia memiliki PLTU batu bara dengan jumlah kapasitas 32.373 megawatt (MW) dan kapasitas 11.840 megawatt (MW) dalam pembangunan.

Berdasarkan Laporan Indonesia G20 IFFS Self-review 2019, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menargetkan pengurangan emisi sebanyak 29 persen setelah tahun 2020 yang berdasarkan pada Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC) pada Persetujuan Paris (Paris Agreement) atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Mereka juga mengalokasikan dana sebanyak USD 55,01 miliar untuk periode 2015-2019, termasuk program-program NDC dalam sektor energi, 1) energi terbarukan sebagai energi dan bahan bakar; 2) efisiensi energi; 3) energy bersih; 4) penggantian bahan bakar; dan 5) reklamasi pascatambang.

Selain itu, pengawas energi Indonesia menyebutkan bahwa peraturan pemerintah yang sudah ada mensyaratkan bahwa negara harus mencapai 17,5 persen energi campuran terbarukan pada tahun 2019 namun PLTU batu bara yang berlokasi di Banten - Jawa 7 Unit 1 (dengan total kapasitas 1.000 megawatt) telah beroperasi pada bulan Desember 2019; merusak 376 megawatt (MW) energi hijau yang sudah diresmikan pada tahun yang sama.

Covid-19, perubahan iklim, dan layanan kesehatan

Dalam masa pandemi global yang menyatu dengan krisis iklim yang sudah ada sebelumnya, ekspansi energi bahan bakar fosil di Indonesia ini berarti bahwa sebagian besar masyarakat sekarang lebih rentan terhadap virus corona dan penyakit yang berhubungan dengan saluran pernapasan lainnya, serta akan kesulitan dalam beradaptasi dan menghadapi tantangan dari salah satu ancaman kesehatan terbesar di abad ke-21 ini.

Bencana dan wabah penyakit diketahui merusak kesehatan manusia dan mengganggu kehidupan. Hal ini menjadi tantangan bagi sistem layanan kesehatan di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya yang pada dasarnya tidak siap untuk menghadapi pandemi akibat iklim.

Healthcare climate action sebagai bagian dari rencana pemulihan regional

Rumah Sakit Ramah Lingkungan atau Global Green and Healthy Hospitals (GGHH) merupakan sebuah jaringan internasional rumah sakit, fasilitas layanan kesehatan, sistem kesehatan, dan organisasi kesehatan yang didedikasikan untuk mengurangi dampak lingkungan yang dihasilkan dan mempromosikan kesehatan masyarakat dan lingkungan.

Sebagai anggota dari Jaringan GGHH, Health Promoting Hospitals (HPH) atau Rumah Sakit Promosi Kesehatan di Indonesia turut ikut serta dengan 350 organisasi yang mewakili lebih dari 40 juta organisasi kesehatan dan lebih dari 4.500 organisasi kesehatan individu dari 90 negara yang berbeda, secara tertulis kepada para pemimpin G20 yang meminta #HealthyRecovery  baik dari Covid-19 dan krisis iklim.

Pandemik yang terjadi saat ini menunjukkan kepada kita bahwa kehidupan normal yang biasa kita jalani ini tidak berkelanjutan dan bersifat destruktif/merusak, dan jika terus berlanjut, di samping kurangnya solusi yang inklusif untuk krisis iklim, hanya akan menunjukan kehancuran secara permanen terhadap kehidupan manusia dan planet bumi kita.

Di bagian dunia ini, dimana masalah-masalah lingkungan dan kesehatan seperti perubahan iklim dan polusi udara menandakan ketidakadilan dalam aspek kesehatan, kurangnya infrastruktur kesehatan yang memadai, prioritas anggaran pemerintah yang tidak mencukupi, kondisi kerja yang menyedihkan, ketidaksetaraan gender, dan bahkan kerawanan pangan, ini sangat penting untuk sektor layanan kesehatan untuk menjalankan rencana pemulihan yang sehat. Artinya, menyerukan perlindungan kesehatan masyarakat melalui sebuah transisi terhadap energi terbarukan, berinvestasi dalam fasilitas kesehatan tahan iklim, menerapkan kebijakan pengadaan layanan kesehatan yang ramah lingkungan, memperkuat sistem informasi kesehatan, dan mengedukasi masyarakat tentang bahayanya kelambanan terhadap perubahan iklim.

Sebagai penutup, salah satu pesan yang muncul dari pandemi Covid-19 ini adalah perlunya untuk menyelamatkan bumi kita dari polusi buatan manusia seperti yang berasal dari industri penghasil karbon yang ekstraktif, terutama pembangkit listrik (PLTU) batu bara dan ekstraksi bahan bakar fosil. Biarkan langit tetap biru, udara tetap bersih, dan orang-orang tetap sehat. ###


This Opinion-editorial appeared in:

https://radarsukabumi.com/rubrik/artikel/green-hospitals-network-di-indonesia/